PERS INDONESIA, BEBAS DAN MERDEKA ITU
BERBEDA
Pers di Indonesia saat ini memiliki
kebebasan yang sangat luar biasa pasca-reformasi, bahkan ada pendapat bahwa
kebebasan pers Indonesia sudah "kebablasan". Namun, kebebasan pers
itu tidak otomatis dialami dalam suasana merdeka. Artinya, pers memang bebas
melaporkan apa saja, tapi kebebasan melaporkan itu tidak merdeka karena ada
intervensi dari beberapa pihak tehadap media massa.
Di Indonesia
Kebebesan pers berkembang dengan baik, tetapi kebebasan itu juga melebihi batas
dan sudah keluar jalur, kode etik pun mulai ditinggalkan. Banyak berita yang
belum diketahui kebenarannya sudah disebar luaskan tanpa izin.
Kebebasan ini
masih diperburuk dengan adanya campur tangan pihak lain yang mempunyai
kekuasaan. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan Kemerdekaan Pers di Indonesia
masih kurang karena banyaknya intervensi dari pihak lain. “Yang kami butuhkan
adalah upaya untuk membelajarkan para jurnalis yang masih belum mengerti benar,
kode etik pers. Selain itu banyak perusahaan media didanai atau dimiliki
politisi, sehingga ada kecenderungan tidak memberitakan hal-hal yang dianggap
bisa merugikan pemilik atau pemegang saham mereka.”Salah satu contoh yang
dikemukakan sewaktu seminar Ranesi ini adalah Vivanews.com. Sebagian sahamnya
dimiliki konglomerat Aboerizal Bakrie.Moderator Ira Kusno, sewaktu diskusi
pertama mengenai “Kebebasan Internet di Indonesia”, menanyakan kebenaran bahwa
di Vivanews.com sedikit sekali atau cenderung tidak ada berita yang mengkritik
Bakrie dan perusahaan-perusahannnya, atau pemberitaan tentang bencana lumpur
Lapindo.Pemimpin redaksi Vivanews.com, Nezar Patria yang merupakan salah satu
panelis dalam diskusi ini mengatakan, Bakrie hanya menekankan bahwa pemberitaan
mengenai dirinya tidak boleh berat sebelah dan harus dicek dulu kebenarannya.
Nezar menambahkan bahwa berita mengenai Lapindo ada, tapi memang tidak banyak.
Pers Indonesia yang bebasan tapi tidak merdeka
Dapat dibuktikan dari peringkat "World Press Freedom Index 2012" yang
dikeluarkan oleh Reporters Without Borders, terkait Indeks Kemerdekaan Pers. Dalam
pemeringkatan Indeks Kemerdekaan Pers itu, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia
turun dari 117 pada tahun 2011 menjadi 146 pada tahun 2012. Itu merupakan
sebuah ironi di Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari.
Posisi itu berada di bawah Filipina (140), Gambia (141), Rusia (142), Kolombia (143), Swaziland (144), dan Republik Demokratik Kongo (145). Posisi Indonesia itu sama dengan negara Malawi (146).
Posisi itu berada di bawah Filipina (140), Gambia (141), Rusia (142), Kolombia (143), Swaziland (144), dan Republik Demokratik Kongo (145). Posisi Indonesia itu sama dengan negara Malawi (146).
"Kami menyampaikan keprihatinan atas
turunnya peringkat Indonesia dalam World Press Freedom Index 2012 yang
dikeluarkan oleh Reporters Without Borders itu," kata Direktur LBH Pers
Surabaya, Athoillah (1/2).
”Tajamnya penurunan posisi itu berkaitan erat
dengan banyaknya kekerasan dan upaya menghalang-halangi kemerdekaan pers di
Indonesia serta kurangnya penegakan hukum yang berujung pada impunitas,"
paparnya. Selain itu, belum tuntasnya berbagai kasus pembunuhan jurnalis
semakin menambah anjloknya posisi Indonesia.
"Turunnya peringkat Indonesia itu juga merupakan peringatan bagi pers, terkait masih kuatnya ancaman terhadap kemerdekaan pers. Banyaknya kekerasan terhadap pers yang seiring dengan belum adanya kesungguhan aparat hukum untuk menindaknya," ucapnya.
Selain kekerasan fisik, LBH Pers Surabaya juga menilai keputusan politik dan kebijakan negara juga menjadi ancaman kemerdekaan pers, di antaranya munculnya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
"Karena itu, kami mendukung sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas sejumlah pasal dalam UU Intelijen yang kami anggap bermasalah itu," tukasnya.
"Turunnya peringkat Indonesia itu juga merupakan peringatan bagi pers, terkait masih kuatnya ancaman terhadap kemerdekaan pers. Banyaknya kekerasan terhadap pers yang seiring dengan belum adanya kesungguhan aparat hukum untuk menindaknya," ucapnya.
Selain kekerasan fisik, LBH Pers Surabaya juga menilai keputusan politik dan kebijakan negara juga menjadi ancaman kemerdekaan pers, di antaranya munculnya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
"Karena itu, kami mendukung sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas sejumlah pasal dalam UU Intelijen yang kami anggap bermasalah itu," tukasnya.
Namun, pengamat dari Fisip Universitas
Airlangga (Unair) Surabaya Bambang Budiono menilai ada ancaman kemerdekaan pers
yang lebih gawat dari ancaman kalangan ekternal, yakni ancaman dari internal
pers atau pemilik modal dalam dunia massa. "Bebas dan merdeka itu berbeda.
Pers Indonesia memang sudah bebas, tapi pers Indonesia belum merdeka, karena
pemilik media sudah terlalu jauh melakukan intervensi pada konten, terutama
pada media televisi," katanya di kampus Unair Surabaya (8/2).
Menurut pengajar Antropologi Politik
Fisip Unair itu, pemilik modal boleh saja memiliki media sebanyak mungkin, tapi
dia tidak boleh melakukan intervensi konten media, karena hal itu akan
merugikan publik/masyarakat."Dengan adanya intervensi konten itu akan
membuat informasi yang mencerahkan, mencerdaskan, dan bebas kepentingan tidak
akan didapat masyarakat lagi bila konten diintervensi pemilik modal,"
tuturnya di sela-sela "Roundtable Discussion" (RTD) bertajuk
"Konsolidasi Ke-Indonesiaan" yang digelar Unair, PPAD, dan Gerakan
Beli Indonesia itu.
Mantan Direktur Pusat Studi HAM
(PusHAM) Unair itu mengatakan pemerintah melalui KPI perlu membatasi intervensi
konten itu melalui regulasi yang tegas, dan memisahkan antara kepemilikan media
dengan kepemilikan konten media. "Bagaimana pun, intervensi konten media dari
pemilik modal, terutama televisi, telah terbukti menjadi faktor penyebab
turunnya Indeks Kemerdekaan Pers, karena informasi yang dikeluarkan wartawan,
reporter, dan redaktur mengandung kepentingan pemilik modal yang dikemas dengan
'kebebasan pers'," kilahnya. Dominasi kepentingan pemilik modal itu,
katanya, akan semakin merugikan masyarakat bila pemilik modal itu bergerak ke
politik, sehingga kepentingan politik akan mewarnai media itu. "Karena
itu, KPI harus mendorong regulasi yang membatasi kepentingan investor masuk ke
dalam konten media," ucapnya, menyarankan.
Kalangan pers sudah waktunya tidak
hanya menggembor-gemborkan kebebasan pers di Indonesia, namun mereka justru
menelikung kebebasan itu dengan memanfaatkan kebebasan pers untuk membelenggu kemerdekaan
pers, sehingga indeks kemerdekaan pers pun terjun bebas meremukkan publik.
Pers di Indonesia sangat perlu
diperbaiki, kebebasan pers sudah di dapatkan tetapi malah terlalubebas tanpa
kendali. Pers harus mulai dibatasi kebebasannya dengan pemantauan isi pers dan
kemerdekaan pers harus ditegakkan. Pers tidak boleh dicampur tangani dan di
intervensi oleh pihak mana pun. Pers yang sesuai kode etik harus disampaikan
dengan sebenar-benarnya tanpa sedikitpun pembelaan ke satu pihak.
No comments:
Post a Comment